Rabu, 27 April 2016

Kata Serapan

Kata serapan atau sering disebut juga dengan kata pungutan atau pinjaman adalah kata-kata yang berasal dari bahasa asing yang telah terintegrasi ke dalam bahasa Indonesia dan telah diterima oleh masyarakat umum. Fungsi kata serapan di dalam bahasa Indonesia adalah untuk memperkaya ragam bahasa Indonesia itu sendiri dan memberikan pengetahuan  tentang bahasa asing kepada pemakai bahasa Indonesia.

Proses Penyerapan Kata

Ada beberapa proses atau cara masuknya bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia sehingga bisa terserap. Di bawah ini adalah proses penyerapan tersebut:

1. Adopsi

Proses adopsi adalah terserapnya bahasa asing karena pemakai bahasa tersebut mengambil kata bahasa asing yang memiliki makna sama secara keseluruhan tanpa mengubah lafal atau ejaan dengan bahasa Indonesia.

2. Adaptasi

Proses adaptasi adalah proses diserapnya bahasa asing akibat pemakai bahasa mengambil kata bahasa asing, tetapi ejaan atau cara penulisannya berbeda dan disesuaikan dengan aturan bahasa Indonesia.

3. Pungutan

Masuknya bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia terjadi akibat pemakai bahasa mengambil konsep dasar yang ada dalam bahasa sumbernya, kemudian dicarikan padanan katanya dalam bahasa Indonesia. Cara ini dapat disebut juga dengan konsep terjemahan dimana kata serapan dihasilkan dengan cara menerjemahkan kata / istilah tersebut tanpa mengubah makna kata tersebut.

INDONESIA

ASING
Alamat
=
‘alama (tanda)
Berkat/Berkah
=
Barakah
Derajat
=
Daraja
Gairah
=
Ghaira (hasrat)
Akses
=
Access
Aksesoris
=
Accessory
Aplikasi
=
Application
Assumption
=
Asumsi
Balon
=
Balloon
Bisnis
=
Business
Organisasi
=
Organization
Kalkulator
=
Calculator
Kalem
=
Calm
Karir
=
Career
Kabar
=
Khabar
Keparat
=
Kufarat (orang kafir)
Menara
=
Minarah
Masalah
=
Mas-alatun
Makalah
=
Maqalatun
Mungkin
=
Mumkinun
Maksimal
=
Maximal
Naskah
=
Nuskhotun
Perlu
=
Fardhu
Resmi
=
Rasmiyun
Rezeki
=
Rizq
Sekarat
=
Sakaraat
Serikat
=
Syirkah
Wafat
=
Wafah
Capcay
=
Cap Cai
Algojo
=
Algoz
Risiko
=
Risk
Sistem
=
System
Teknik
=
Technique
Metode
=
Method
Frekuensi
=
Frequency
Deskripsi
=
Description
Pasien
=
Patient
Psikologi
=
Pshcology
Kompleks
=
Complex
Formal
=
Formeel
Apotek
=
Apotheek
Hipotesis
=
Hypothesis
Manajemen
=
Management
Trotoar
=
Trotoir
Efiesien
=
Efficient
Taksi
=
Taxi
Karantina
=
Quarantaine
Kapling
=
Kavelling
Klakson
=
Claxonneren


Rabu, 13 April 2016

"FATIMAH AZ-ZAHRA"

Chapter 12 :  Kisah Kesebelas -Putri Sang Ayahanda-


Persidangan di Karbala kian hari kian memanjang karena situasi politik yang semakin memanas. Hal itu masih ditambah dengan sistem biokrasi yang berbelit-belit. Semua orang menjadi marah dibuatnya. Aparat penegak hukum masih menyatakan kurang dalil yang menguatkan nahwa Junaydi Kindi seorang yang tidak bersalah. Sementara itu, harapan agar Abbas dapat diselamatkan dari tawanan Fudeyh hari demi hari kian sirna.


Ramadan Usta dan Hasyim telah berunding  dan memutuskan menulis secarik surat untuk kemudian diterbangkan dengan merpati pos yang sudah terlatih untuk disampaikan ke pusat pemberitaan yang jaraknya sejauh setengah hari perjalanan.

Surat yang ditulis untuk Majnun  berisi pesan singkat agar dirinya kembali ke Karbala secepatnya. Namun, ada satu masalah, yaitu kpaan Majnun akan singgah ke pusat pemberitaan. 

"Junaydi Kindi, sungguh Anda adalah tamu kami yang selalu mendapat tempat di hati kami. Namun, sampai saat ini kami masih belum bisa membatalkan tudhan atas kemungkinan tindakan kriminal yang Anda lakukan karena Anda tidak memiliki saksi. Lebih dari itu, Anda membawa seorang bocah yang sama sekali tidak diketahui asal-usulnya. Dalam keadaan seperti ini kami tidak dapat membebaskan Anda..."

Saat sidang, tiba-tiba Nesibe melompat ke depan persidangan seraya berkata lantang dengan keberanian yang smaa sekali tidak diperkirakan.

"Bagaimana mungkin Anda sekalian justru menyalahkan Junaydi Kindi yang telah menyelamatkan seorang bocah dari kematian? Apakah Anda sekalian sama seklai tidak memahami makna surah al-Maa'uun tentang hak-hak anak yatim? Sang pahlawan Karbala, Sayyidina Husein, adalah saksinya. Saya adalah seorang bocah dari Lembah Fudeyh, Kabilah saya diserang oelh para berandal. Seluruh anggota keluarga saya dibunuh. Mereka membiarkan saya karena telah mengira bhawa saya pasti akan mati dengan sendirinya. Pada saat itu Junaydi Kindi menyelamatkan saya. Anehnya, bukan diberi penghargaan, justru Anda sekalian malah merantainya."

Mendengar menuturan bocah ini, semua anggota pengadilan menjadi malu dan menunda persidangan sampai istirahat salat Zuhur.

"Bocah perempuan ini berkata benar. Meski belum cukup usia untuk menjadi saksi, jiwanya tulus dan layak untuk diperhitungkan. Karena itu kita harus segera melepaskannya."

Sementara itu, di luar orang-oramg saling meluapkan kebahagiaannya. Nenek Destigul Tikriti terus mengetuk-ngetuk tongkatnya,"Ya Mabrur!" seraya mendekap Nesibe yang baginya berbau Abbas.

Hasyim membelai Nesibe dan berkata,"Hebat kamu, kamu memiliki keberanian sebagaimana Fatimah az-Zahra.

"FATIMAH AZ-ZAHRA"

Chapter 11 :  Kisah Kesepuluh -Para Penduduk Kampung Kepedihan-


Majnun dan Abbas telah menempuh perjalanan ke Basra Selatan dengan menyusuri pinggiran Sungai Eufrat. Di tengah perjalanan, Sang Majnun menawari Abbas beristirahatsejenak di sebuah kampung. Mereka duduk di pinggir aliran air sambil membasuh wajah mereka, dan tenggorokan mereka.


Di sinilah mereka, di kampung orang-orang yang berkabung dalam kesedihan. Mereka dibawa ke sebuah tempat dengan bangunan tinggi yang ditutupi dengan pelepah daun kurma. Di dalam tempat itu, masih ada dua orang yang kedua tangannya diikat dengan tambang. Para pengawal langsung memasukkannya ke dalam gedung itu dengan cepat seraya mengunci pintu rapat-rapat. Saat mendekakti kedua orang itu, Abbas ternyata mengenalnya. Ia adalah Behzat, putra Husrev Bey yang genap empat puluh hari meninggalkan sang ayah di Nergis Han. Behzat bersama Ibn Siraj al-Kurtubi.

Behzat kemudian bercerita bahwa ia mengikuti si Majnun sehingga ia berada di dalam musibah ini. Orang-orang kafir mengenalnya sebagai Kurtuba dari Andalusia. Dia pernah menjadi tawanan, tetapi ia melarikan diri ke Andalusia. Dia kemudian berlindung di negara Magrib. Dia adalah seorang pengembara yang pandai baca tulis dan mahir membuat peta.

Dalam hati Abbas bertanya-tanya, apakah peta yang ditunjukkan dengan Tuanku Junaydi Kindi sama? Ataukah kemampuan memebuat peta tidak lain hanyalah keahlian ilmu sihir sebagaimana yang dikatakan Husrev Bey?

Mereka tidak membagi rahasia yang paling besar dengan Husrev Bey, karena memegang rahasia ini bisa jadi berakibat kematian. Orang-orang pendukung setia Syekh Tahmasb tidak tinggal diam. Mereka melakukan segala upaya untuk menyalahkan pemerintah Istanbul.Oleh karena itu pemberontakan dan perampokan yang terjadi semakin  meningkat akhir-akhir ini.

Pada malam itu, semua orang akan diinterogasi Sang alim Ziyasuddin dan para tetua Kampung Kepedihan.

"Memohon maaf, meminta belas kasih, adalah nikmat yang telah dianugerahkan kepada Nabi Yunus AS sehingga menjadi wasilah baginya dan selamat dari dalam perut ikan besar. Meski demikian, klian semua harus meyakinkan terlebih dahulu para anggota tetua ..."

Pada saat inilah Majnun menyela.

"Seseorang yang baru saja aku bawa adalah saksi bagi kedua orang yang lainnya, wahai para warga yang sedang berkabung. Ketiga-tiganya datang dari Karbala."

"Baiklah, lalu siapa yang akan menjadi saksi orang yang ketiga ini? tanya seorang tetua.

Orang ketiga itu tak lain adalah Abbas. Begitu mendengar pernyataan itu, luluh sudah dirinya.

"Ya, Mabrur! Saksiku adalah Allah Ta'ala, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan para nabi-Nya. Semoga salawat dan salam tercurah pada baginda Muhammad al-Mustafa, Ahli Bait, Imam Ali yang mendapat mahkota julukan La Fatta, baginda Fatimah az-Zahra, dan anak-cucunya," kata Abbas.

Minggu, 10 April 2016

"FATIMAH AZ-ZAHRA"

Chapter 10 :  Kisah Kesembilan -Anak Perempuan yang Dibawa ke Rumah Sang Paman-

Junaydi Kindi hanya memiliki sedikit waktu untuk menemukan dua orang yang dapat bersaksi bahwa dirinya tidak bersalah. Selain itu, sampai dirinya menemukan kedua saksi tersebut, Abbas harus dirantai.

Abbas, anaknya sendiri... Sang anak yang selama bertahun-tahun dicarinya. Ia pun memacu kudanya sekencang-kencangnya, berharap dapat sampai di Karbala dengan segera. Sesampai di Sungai Eufrat, tiba-tiba dirinya dicegat oleh tiga orang. Junaydi Kindi terpaksa melambatkan laju kudanya. Tak lama, dua orang dari mereka menaiki kuda itu. Seorang bocah belumberusia genap enam tahun Nesibe memegangi punggung Junaydi Kindi, ia anak yang diculik saat perampokan di lelmbah padang pasir.

"Demi hormat kepada baginda Fatimah az-Zahra...," kata seorang pemuda saat memberikan bocah itu kepadanya. "Jika Anda tidak membawa bocah ini kepada kerabatnya, ia akan mati di tengah padang sahara ini atau jatuh ke tangan para pedagang budak. Tolonglah bocah ini demi Alquran yang telah menitahkan untuk melindungi hak anak-anak perempuan yang dikubur hidup-hidup!"

Tangan Nesibe yang lemah memegangi punggungnya membuat Junaydi Kindi teringat akan di masa Jahiliah.

Tidak lama lagi ia akan sampai di Karbala. Saat linangan air mata mengalir dari kedua matanya terhempas angin padang pasir, dengan suara keras ia mulai membaca surah at-Takwir.

Baru juga mendekati pintu gerbang kota Karbala, Junaydi Kindi langsung ditangkap. Pemimpin kota telah melarang semua orang keluar-masuk Karbala demi mnagntisipasi kekacauan yang akan terjadi.

Sungguh sangat malu Junaydi Kindi dengan borgol mengunci tangannya, meski sebelum persidangan para petugas keamanan melepaskannya.
"Ya Mabrur! Engkaulah Allah, Zat yang melindungi semua anak yatim," doa Nenek Destigul Tikitri selalu.

Haji Tenzile Hanim juga telah mengeluarkan banyak biaya  untuk menyewa pengacara. Namun, hal itu tetap tiak bisa meringankan dakwaan besar untuk tuduhan perampokan. Sungguh tuduhan yang teramat berat. Meski pembelaan telah dilakukan sesuai aturan, tetap saja Junaydi Kindi tidak kunjung dilepaskan.

Pada saat itulah bocah kecil bernama Nesibe melompat ke tengah-tengah persidangan sehingga membuat semua orang tercengang.

Sabtu, 09 April 2016

"FATIMAH AZ-ZAHRA"

Chapter 9 :  Kisah Kedelapan - Dua Ekor Kijang -

Beberapa saat Fudeyh memerhatikan Abbas yang terlilit rantai di lehernya. Ada bercak-bercak darah karena kulit lehernya mengelupas. Saat itu hatinya tertikam. Ia jadi ingat engan cucu baginda Rasulullah SAW. Suatu hari, baginda Nabi SAW mendapati leher Sayyidina Husein memerah akibat kalung yang dikenakannya. Seketika itu pula Rasulullah SAW sedih.

Malaikat Jibril pun segera turun dari langit seraya berkata, "Apakah baginda bergitu sedih  terhadap Husein? Di bagian leher yang memerah itulah kelak baginda akan menebasnya..."

Fudeyh pun terenyuh merenungi kisah itu, Sayangnya, ia akhirnya tetap akan pergi melanjutkan perjalanan memimpin karavan sebagai seorang kepala kabilah yang tidak mungkin lagi menarik kata-katanya.

Dalam kondisi seperti itu, Abbas tetap bersyukur ke hadirat Illahi. Saat karavan pergi meninggalkannya, mereka memninggalkan beberapa potong roti kering dan sedikit air. Keadaan hati yang sedemikian mulia inilah mungkin telah mengetuk pintu hati. Saat waktu dhuha akan berakhir, seorang pemuda mendatanginya bersama dua kijang yang telah jinak.

Pemuda itu adalah utusan Junaydi Kindi, ia membawa kabar bahwa Junaydi Kindi sedang ditawan, dipernjara. Setelah, berbincang-bincang bebrapa lama, Abbas mengerti kalau seseorang yang baru datang ini bukanlah sosol sembarangan. Ia membawa memberi tahu kepada Abbas bahwa Wali Kota telah memerintahkan semua orang dilarang keluar dan masuk demi keamanan.

Pemuda itu membantu Abbas melepaskan rantai-rantai besi yang melilitnya dan ia akan mengantar Abbas sampai ke Sungai Eufrat. Kemudian Abbas akan menaiaki kapal smpai Basra.

"Suatu waktu, baginda Fatimah az-Zahra memberikan seekor kijang kepada kedua putranya agar mereka senang bermain. Namun, pada akhirnya, Sayyidina Hasanlah yang memiliki anak kijang itu. Sang adik kecil, Sayyidina Husein sedih karena tidak punya seekor anak kijang. Akhirnya Sayyidina Husein pun menangis. Pada saat itu Rasulullah SAW datang dengan membawa seekor kijang yang sedang menyusui anaknya. Dia adalah induk kijang yang satu dari anaknya ditangkap dan ternyata diberikan kepada Sayyidina Hasan. Sang induk kijang mendengar suara dari langit saat menyusui satu anaknya yang lain. Suara itu mengatakan bahwa anaknya yang pertama telah diberikan kepada Sayyidina Hasan, sementara sang adik menangis meminta hal yang sama. 'Bahagiakanlah buah hati Fatimah. Pergi dan hadiahkan anakmu kepada Husein.'


"FATIMAH AZ-ZAHRA"

Chapter 8 :  Kisah Ketujuh -Sangkar Burung Seriti-

Terjadilah keadaan mencekam di tempat menginap. Kelompok Fudeyh, pemimpin padang pasir sedang memasuki sebuah tenda dengan penuh amarah.

Saat itu, Junaydi Kindi bersama Abbas sedang bercerita tentang Kendi Duhter. Karena itulah ia tidak mendengar jeritan dan bunyi cemeti dari tenda-tenda dekat pohon palem tempat mereka berdua menggelar tikar.

Abbas yang pertama tahu akan hal itu langsung ketakutan. Baru akan beranjak dari duduknya, tenda yang berada di dekat mereka dirobohkan dan orang-orang berlarian. Abbas tesungkur ke tanah dengan tamparan keras. Sedangkan nasib Junaydi Kindi, tubuhnya dipegangi beberapa orang, kedua tangannya diikat ke belakang.

Terjadi kesalahpahaman, kelompok Fudeyh mengira bahwa mereka adalah perampok dan mata-mata. Mereka melihat kantong  yang di genggam erta-erat oleh Abbas.

"Hai, anak kecil! Cepat buka kantong itu. Kita lihat klaian mendapatkan jatah apa dari perampok itu!"

Keringat bercucuran membasahi tubuh Junaydi Kindi. Wajahnya basah setelah mendengar ucapan yang meminta untuk membuka kantong itu. Meski bukan berisi perhiasan, ia takut 'Kendi Duhter' di minta mereka. Bagaimana kalau Abbas menceritakan semua hal tentang kendi itu? Bagaimana kalau mereka mengambil dengan paksa kenangan Rasulullah SAW itu?

Semua ornag tahu bahwa Fudeyh, sang pemimpin padang pasir sangat mencintai baginda Fatimah az-Zahra. Kalau sampai tahu tentang 'Kendi Duhter' itu, pasti ia tidak akan membiarkannya dibawa lagi oleh orang lain.

Tetapi apa yang terjadi, saat Fudeyh dengan lantang berkata bahwa selama suku yang berada di bawah keamanannya, tidak diperkenankan perhiasan apapun dibawa dan mereka berhak untuk mengambil sebagai jaminan, Abbas pun berkata,

"Tuan Fudeyh yang mulia! Aku berasal dari Tikriti, cucu seorang dukun bayi Destigul Tikriti. Sekarang aku menjadi pembantunya Tuan Junaydi Kindi.Kantong yang selalu aku dekap hanyalah sebuah kendi air minum kenang-kenangan dari mendiang ibuku, Nurbanu Hanim. Aku selalu mendekapnya saat merindukan ibuku. Sungguh, demi Fatima az-Zahra, demi Ali Bait, demi Sayyidina Husein, berilah keamanan kepada kami yang baru saja datang dari tanah Karbala."

Tiba-tiba hati Fudeyh tersentuh saat seorang anak memohon kepadanya dengan menyebutkan baginda Fatimah az-Zahra dan Sayyidina Husein. Ia pun bangkit dari tempatnya seraya membacakan salawat dengan suara lantang, diikuti ratusan tentara yang mengawalnya.

Saat mendengar lantunan salawat itulah Abbas mulai membuka kendi berselimut kain berwarna emas itu. Kendi Duhter, seolah ia adalah wasilah syafaat baginda Fatimah az-Zahra.

Sementara itu, Junaydi Kindi masih syok dengan apa yang ia dengar: Nurbanu Hasim... Ia tidak habis pikir, mengapa selama ini lupa untuk menanyakan nama ibunya. Kini, sudah tidak ada keraguan lagi bahwa Abbas adalah anaknya sendiri yang telah hilang bertahun-tahun lamanya.

"FATIMAH AZ-ZAHRA"

Chapter 7 :  Kisah Keenam - Nijdevan Sang Perampok-

Seorang berandal dari Botan bernama Nijdevan sangat ditakuti oleh semua orang. Bahkan polisi kualahan menghadapi tindakannya. Tidak ada seorang pun yang berani menghalau kejahatannya dengan ayunan pedang, cemeti, atau borgol sehingga dia bisa diringkus.

Pada suatu saat, Nijdevan mendengar berita bahwa pengantin baru bernama Siyamen dan istri, Heje pergi ke rumah kakeknya. Nijdevan tidak menyia-nyiakan kesempatan ini untuk merampoksemua harta yang pengantin muda itu miliki.

Di tempat lain, seorang pemuda bernama Mele Kasim mendapat perintah dari para tetua, ia segera mendaki Bukit Kirklar bersama dengan santri. Sepanjang jalan mereka melantunkan doa kepada Allah SWT dan  membaca Maulid Fatimah az-Zahra. Lantunan doa mengetuk pintu penciptaan. Mungkin sebagai tanda kemuliaan hari saat Fatimah az-Zahra diciptakan dalam rahim sang bunda, nasin Nijdevan pun berganti.....

Di dalam peti perhiasan ia dapati di dalam kamar sang pengantin muda terdapat sebuah tulisan dari benang emas di atas sutra yang berbunyi, Syafaat ya.. Rasulullah.. Tiba-tiba, sekujur tubuhnya kaku. Pedang berada di tangannya pun jatuh, ia langsung berucap,"Ya Allah, ya Muhammad."

Saat sadar, Nijdevan mendapati dirinya berada di bawah sebuah pohon kurma dengan tali yang melilit tubuhnya bersama batang pohon. Ia pun menangis, Nijdevan yang perkasa telah nangis tak berdaya.

Terletak dalam hatinya yang terdalam untuk bertobat. Terucap dari kedua bibirnya kalimat Syafaat ya... Rasulullah sampai akhirnya pingsan akibat derap jantung yang ditimbulkan sehingga ia tidak sadarkan diri.

Suatu hari, ia mendapati seekor merpati yang bersarang di pundaknya. Sekian lama merpati itu kahirnya melepaskan lilitan tersebut dan Nijdevanpun terlepas. Kehidupannya pun berubah. Ia berkerja sebagai pembantu di hamam, belajar fiqih dengan Mele Kasim, dan merubah namanya menjadi Ramadan Ia luruskan niatnya menempa diri hingga jalan hidupnya sampai di Mekkah al-Mukaramah.

.